Cherbonnews.com | Ekonomi, Mindset Ekonomi - Selama ini, pembahasan mengenai pertumbuhan ekonomi sering terfokus pada angka-angka makro: Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, nilai tukar, hingga neraca perdagangan. Namun di balik statistik yang kompleks itu, ada satu faktor yang kerap terlupakan—mindset ekonomi bangsa.
![]() |
Mindset Ekonomi |
Pola Pikir Kolektif dan Pertumbuhan yang Rapuh
Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, terjebak pada paradigma jangka pendek. Masyarakat sering kali lebih menghargai hasil instan dibanding proses panjang yang membangun nilai. Pola pikir konsumtif ini berakar kuat dalam keseharian—dari kebiasaan belanja berlebihan, hingga orientasi terhadap pekerjaan bergaji tetap ketimbang mencipta peluang usaha.
Padahal, pertumbuhan ekonomi yang tangguh lahir dari masyarakat yang produktif, bukan konsumtif. Ketika orientasi ekonomi masih sebatas “bagaimana menghabiskan uang”, bukan “bagaimana menciptakan nilai tambah”, maka ekonomi nasional akan mudah terguncang oleh krisis global atau perubahan kebijakan.
Mentalitas ekonomi yang lemah juga berdampak pada rendahnya tingkat tabungan dan investasi. Data Bank Indonesia menunjukkan, tingkat tabungan rumah tangga di Indonesia masih di bawah rata-rata negara ASEAN. Hal ini memperlihatkan bahwa banyak masyarakat yang belum melihat pentingnya membangun ketahanan finansial pribadi sebagai bagian dari ketahanan ekonomi nasional.
Budaya Ekonomi dan Pembentukan Mindset
Mindset ekonomi tidak lahir dalam ruang kosong. Ia dibentuk oleh budaya, pendidikan, dan lingkungan sosial.
Di banyak daerah, budaya ekonomi masih terjebak pada pandangan tradisional—bahwa bekerja keras tidak selalu identik dengan kemakmuran, atau bahwa menjadi pegawai tetap lebih aman dibanding berwirausaha. Pandangan semacam ini memperkuat status quo dan menghambat mobilitas sosial.
Selain itu, sistem pendidikan nasional juga berperan besar dalam membentuk mentalitas ekonomi. Kurikulum ekonomi dan kewirausahaan sering kali hanya berorientasi pada teori, bukan praktik. Sementara itu, media dan budaya populer sering memperkuat citra konsumtif melalui tayangan glamor, bukan narasi produktif. Akibatnya, masyarakat lebih mengenal “cara membelanjakan uang” ketimbang “cara menciptakan nilai ekonomi”.
Ketika Pertumbuhan Tak Didukung Etika Ekonomi
Perekonomian suatu bangsa dapat tumbuh pesat, namun tanpa fondasi etika ekonomi yang kuat, pertumbuhan itu mudah runtuh. Etika ekonomi di sini mencakup tanggung jawab sosial, kejujuran dalam transaksi, serta kesadaran kolektif bahwa kemakmuran tidak bisa dibangun di atas perilaku oportunistik.
Di beberapa sektor, praktik ekonomi jangka pendek seperti spekulasi, korupsi, dan inefisiensi masih menjadi penghambat utama pertumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa mentalitas ekonomi bangsa belum sepenuhnya berorientasi pada produktivitas dan keberlanjutan.
Jika pola pikir seperti ini terus bertahan, maka setiap kemajuan ekonomi hanya akan menjadi “pertumbuhan semu”—indah di data, rapuh di kenyataan.
Membangun Mindset Ekonomi Produktif
Transformasi ekonomi sejati dimulai dari perubahan pola pikir individu. Pendidikan ekonomi sejak dini menjadi kunci. Sekolah perlu menanamkan nilai produktivitas, menabung, berinvestasi, dan bekerja cerdas sejak jenjang dasar. Pembelajaran ekonomi seharusnya tidak berhenti pada hitungan laba rugi, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sosial bahwa produktivitas adalah bentuk kontribusi terhadap bangsa.
Pemerintah juga memegang peran strategis. Kebijakan publik sebaiknya tidak hanya menyasar aspek fiskal, tetapi juga mendidik masyarakat. Program seperti Gerakan Nasional Literasi Keuangan perlu diperluas, terutama di kalangan masyarakat bawah, agar mereka memahami arti pengelolaan keuangan yang sehat dan berkelanjutan.
Selain itu, subsidi dan bantuan sosial sebaiknya dirancang dengan prinsip mendorong kemandirian, bukan ketergantungan. Misalnya melalui model conditional support yang mengaitkan bantuan dengan peningkatan keterampilan atau partisipasi produktif.
Peran Media dan Narasi Ekonomi Baru
Perubahan mindset juga membutuhkan dukungan narasi publik yang konsisten. Media massa dapat menjadi agen penting dalam membentuk budaya ekonomi produktif.
Alih-alih hanya menyoroti kekayaan atau konsumsi berlebihan, media perlu menampilkan kisah sukses para inovator lokal, pelaku UMKM, dan komunitas yang menggerakkan ekonomi riil. Narasi semacam ini menumbuhkan kebanggaan terhadap proses kerja keras, bukan hanya hasil akhir.
Dengan kata lain, bangsa memerlukan “pahlawan ekonomi baru” — sosok yang menginspirasi karena integritas dan daya cipta, bukan karena status sosial semata.
Perubahan yang Dimulai dari Pola Pikir
Pertumbuhan ekonomi yang sejati tidak hanya diukur dari besarnya investasi atau ekspor, tetapi dari sejauh mana masyarakat memiliki kesadaran ekonomi yang produktif dan etis.
Bangsa yang kuat bukan bangsa yang memiliki sumber daya melimpah, tetapi bangsa yang memiliki cara berpikir ekonomi yang benar.
“Kemandirian ekonomi tidak akan pernah lahir dari mentalitas konsumtif. Ia tumbuh dari kesadaran untuk mencipta nilai, bukan sekadar menikmati hasil.”
Kini saatnya Indonesia menata ulang paradigma ekonominya. Perubahan bukan hanya tugas pemerintah atau pelaku usaha, tetapi tanggung jawab setiap warga negara.
Karena pada akhirnya, mindset ekonomi bangsa adalah fondasi sejati dari pertumbuhan yang berkelanjutan—dan sering kali, justru itulah fondasi yang paling terlupakan.
Posting Komentar