Cherbonnews.com | Ekonomi, Mindset Ekonomi - Banyak orang percaya bahwa mengelola keuangan adalah soal angka dan logika. Namun, sejumlah penelitian justru membuktikan sebaliknya: emosi memiliki peran dominan dalam membentuk keputusan ekonomi seseorang.
Ketika stres, takut rugi, atau terlalu bersemangat, bagian otak yang berperan dalam pengendalian rasional sering kali “dikalahkan” oleh sistem emosional. Akibatnya, keputusan finansial lebih banyak digerakkan oleh perasaan sesaat ketimbang pertimbangan matang.
Emosi dan Otak Keuangan
Ahli saraf Antonio Damasio dalam teori Somatic Marker Hypothesis menjelaskan, tubuh manusia menyimpan “penanda emosional” yang memengaruhi cara seseorang mengambil keputusan. “Otak emosional sering bereaksi lebih cepat daripada otak rasional,” tulis Damasio.
Fenomena ini terlihat jelas dalam perilaku keuangan sehari-hari. Ketika pasar saham menurun, investor cenderung panik dan menjual aset, meski secara logika mereka tahu harga akan pulih. Saat euforia pasar meningkat, rasa takut tertinggal mendorong orang membeli di harga puncak — sebuah pola yang dikenal dengan istilah fear and greed cycle.
Riset Emotional Drivers of Financial Decision-Making (2024) menyebutkan, ketakutan (fear), keserakahan (greed), dan kecemasan (anxiety) merupakan tiga emosi utama yang memengaruhi perilaku keuangan global. Sementara studi “Emotional Accounting” oleh Levav dan McGraw menunjukkan bahwa orang kerap memberi makna emosional pada uang—misalnya, menganggap bonus sebagai “uang bahagia” sehingga lebih mudah dihabiskan untuk kesenangan.
Uang dan Kesejahteraan Psikologis
Berbagai survei menunjukkan bahwa stres finansial telah menjadi salah satu sumber tekanan psikologis utama di masyarakat modern.
Penelitian di Indonesia yang diterbitkan di ResearchGate (2025) menemukan bahwa pekerja di kota besar mengalami tingkat stres finansial tinggi akibat ketidakseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan. Kondisi ini memicu kecemasan kronis dan perilaku impulsif, seperti konsumsi kompulsif atau pengambilan keputusan keuangan tanpa perencanaan.
Sementara studi global yang dimuat di Frontiers in Psychology (2024) menunjukkan, tekanan finansial berdampak langsung pada kualitas hidup dan kebahagiaan keluarga. “Semakin tinggi stres keuangan, semakin rendah kepuasan hidup dan hubungan interpersonal,” tulis peneliti.
Menariknya, jumlah uang ternyata bukan faktor utama kebahagiaan ekonomi. Studi di Journal of Economic Psychology menegaskan bahwa rasa aman dan kontrol atas keuangan lebih menentukan kesejahteraan dibanding nominal pendapatan itu sendiri.
Siklus Negatif: Emosi → Keputusan Buruk → Stres Baru
Dalam praktiknya, banyak individu terjebak dalam lingkaran keputusan emosional: stres keuangan mendorong tindakan impulsif, tindakan impulsif berujung pada kerugian, kerugian menambah stres.
Psikolog ekonomi mengibaratkan pola ini seperti “efek bola salju” yang terus membesar jika tidak dihentikan dengan kesadaran diri. “Orang yang stres karena uang lebih cenderung membeli sesuatu untuk merasa lebih baik, tetapi justru memperburuk situasi finansial mereka,” kata perencana keuangan dan terapis finansial Brad Klontz dalam bukunya Mind Over Money.
Mengelola Emosi Finansial
Para ahli sepakat, langkah pertama mengendalikan emosi finansial adalah meningkatkan kesadaran diri terhadap pola emosi pribadi.
Menulis jurnal keuangan, melakukan refleksi harian, atau menunda keputusan pembelian selama 24 jam disebut efektif untuk menurunkan impulsivitas.
Strategi lain adalah mengotomatisasi keputusan finansial—seperti tabungan otomatis, pembayaran tagihan berkala, dan investasi terjadwal—agar keputusan penting tidak ditentukan oleh suasana hati.
Prinsip lain yang disarankan para pakar adalah menilai pengeluaran berdasarkan “nilai” bukan “harga”. Setiap keputusan finansial sebaiknya diukur dari manfaat jangka panjang dan keseimbangan emosional yang diberikannya, bukan dari kepuasan sesaat.
Selain itu, dukungan sosial terbukti penting. Konsultasi dengan psikolog keuangan atau bergabung dalam komunitas keuangan sehat membantu menekan rasa terisolasi akibat stres finansial.
Uang Sebagai Cermin Emosi
Pada akhirnya, uang bukan hanya alat transaksi, tetapi juga cermin dari kondisi emosional seseorang. Cara kita membelanjakan, menabung, atau berutang sering kali mencerminkan bagaimana kita memandang diri sendiri dan dunia.
“Masalah finansial jarang disebabkan oleh kurangnya uang. Lebih sering, itu berakar dari hubungan emosional yang tidak sehat dengan uang,” tulis Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow.
Keseimbangan sejati tidak datang dari jumlah nol di rekening, tetapi dari kemampuan untuk tetap tenang menghadapi keputusan finansial—tanpa dikendalikan oleh rasa takut, iri, atau keinginan sesaat.
Mengelola emosi bukan hanya soal keuangan, melainkan soal menata pikiran agar uang menjadi alat kebahagiaan, bukan sumber kecemasan.
Posting Komentar